Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Ide Cerita Anak: Layang-Layang, Baling-Baling, Gelembung Sabun dan Tamtam Buku




Oleh: Denni Meilizon


 
sumber ilustrasi dari Baltyra.com

PARAGRAF awal tulisan ini kita persembahkan sebagai apresiasi kepada cerpenis (yang juga sudah menerbitkan novel) Amika An yang akhir-akhir ini terpantau sedang produktif dan bahagia menuliskan cerita anak. Saya sendiri punya angan-angan sekiranya para cerpenis mapan mau pula menulis cerita anak tentu alangkah kayanya anak-anak kita akan bacaan ketika senggang. Cerita anak di sini tentu saja cerita yang sesuai syarat dan rukunnya untuk konsumsi kanak-kanak, atau barangkali merujuk kepada Lukens (2003:8)  yang mengatakan “cerita anak adalah cerita yang menceritakan tentang gambar-gambar dan binatang-binatang maupun manusia dengan lingkungan” dan menurut Nurgiyantoro (2005:35) dengan demikian “cerita anak adalah cerita di mana anak adalah subjek yang menjadi fokus perhatian. Tokoh cerita anak boleh siapa saja, namun mesti ada anak-anaknya, dan tokoh anak itu tidak hanya menjadi pusat perhatian, tetapi juga pusat pengisahan”. Barangkali boleh kita tambahkan bahwa cerita anak adalah cerita yang mengantarkan dan berangkat dari kacamata anak. Cerita anak terutama ditujukan kepada pembaca anak walau dalam praktiknya orang dewasa juga banyak yang membacanya.

Layang – layang, baling – baling pelangi, hewan dan tumbuhan imajiner, tokoh-tokoh fantasi dan gelembung sabun ataupun sejenisnya telah menjadi objek yang memperkaya plot cerita anak. Objek demikian itu dapat kita temukan di mana-mana tempat, baik dalam cerita, sajak ataupun syair lagu. Saya percaya saja bahkan sampai saat ini, objek yang lekat dengan dunia kanak-kanak terutama generasi sebelum 2000-an itu lebih terkesan kuat secara tematik dibandingkan jika dihadirkan pula gawai semacam telepon pintar, tablet ataupun perangkat permainan ketangkasan elektronik lainnya. Mungkin, pendapat demikian masih bisa diperdebatkan.
Soalnya tidak lain tentu terkait faktor waktu dan ruang. Segalanya berubah menurut waktu. Ia berjalan lurus dan tidak menoleh ke belakang. Apa yang baru sedetik yang lalu toh menjadi usang saat sekarang. Begitulah sunnahnya. Jadi, bagi kita yang masih betah memerangkap fantasi dan imajinasi kanak-kanak era kita dulu (mungkin era sebelum tahun 2000-an, 90-an atau 80-an) boleh jadi agak sedikit kagok menuliskan objek modern yang diiklankan sebagai karya inovatif dan canggih secara teknologi, yang hari ini menyita layang-layang, baling-baling pelangi, gelembung sabun, kuda sembrani, jamur rumah para kurcaci dan lain sebagainya itu dari dunia kanak-kanak. Namun itu bukan jadi alasan untuk tidak menulis cerita anak.
Kenapa tidak kita gunakan kesempatan untuk memberitahukan kepada generasi sekarang jika dunia kanak-kanak kita dulu juga penuh kegembiraan dan kebahagiaan? Beragam permainan ketangkasan baik itu kelompok atau individu kita nikmati di halaman depan atau tanah lapang. Untuk di Sumatera Barat saja kita akan temukan banyak sekali jenis permainan perintang-rintang hari. Misalnya seperti yang pernah disampaikan oleh Musra Dahrizal atau akrab dipanggil dengan Mak Katik (tokoh adat Minang) bahwa permainan anak nagari itu banyak macamnya. Misalnya daftar berikut ini Sipak Rago, Ulu Ambek, Alang-alang (Darek dan Pasisia), Randai (Silek), Main Congkak, Mamanjek Batang Pinang, Adu Balam, Adu Jawi, Patok Lele, Barabuik-rabuik karambia 5 buah, Antak-antak aia, Ratik tabajuah/ratik sabatang mambantai, Mariam batuang, Simancik, Mambuek dan main oto-otoan dari batuang dan dari potongan palapah karambia mudo, Maluncua jo palapah karambia atau pelepah pinang dari kelandaian bukik, Gasiang, Mancari lundi, Cak bur, Main kelereng, Main kajai, Main Dama, Tikuak anam, Barabab, Basaluang, Manciang, Sepak tekong, Main galah, Main suruk-surukan/ Cirik Mancik, Semba lakon, Kudo kepang,  Engrang, Tamtam buku, Gasiang dari tutuik limun/boto, dan sebagainya.
Sangat keren sekali jika para penulis cerpen sekarang mau memulai untuk meramu cerita tentang betapa arifnya masa lalu kanak-kanak kita dengan aneka permainan tersebut. Setiap permainan ada filosofi dan pengajarannya. Bagi yang pernah beruntung mengalami masa-masa itu pasti berpendapat bahwa terdapat kepuasan yang terbawa hingga dewasa. Kepuasan yang bahagia dan gembira melampui apa yang dirasakan kanak-kanak kini. Ah, saya mendadak jadi melankolis begini.
“Tamtam buku seleret tiang bahu
Patah lembing patah paku
Anak belakang tangkap satu
Bunyi lonceng pukul satu”

Salam Sulam Emas Indonesia!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.