Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Kita Berduka, Tetapi Kita Harus Segera Bangkit (Untuk Rohingya, Palestina, Suriah dan Mana Lagi..)




Oleh: Denni Meilizon







KITA berdukacita untuk Rohingya. Di sana kebebasan dan kemerdekaan sebagai manusia masih jauh dari harapan. Negara kita Indonesia sangat mengutuk penjajahan dalam rupa apapun di atas bumi ini. Hak asasi manusia tiada lain adalah hak untuk hidup dan berkehidupan. Mengakui persamaan kesempatan dan peluang bagi setiap manusia dan juga kedamaian bagi alam semesta. Untuk Rohingya yang ditindas oleh segolongan manusia lain atas nama ideologi, agama, kepentingan kekuasaan atau apapun itu kita laungkan doa kepada Allah semoga ada kelapangan dan masa depan yang baik di sana dan semoga Negara kita dijauhkan dari hal serupa, kita tetap bersatu, bersama-sama membangun masadepan yang lebih baik.

Untuk saudara-saudara kita di Pidie Jaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kita tundukkan kepala seraya berdukacita yang sedalam-dalamnya. Musibah dan bencana merupakan kehendak Allah SWT. Semua itu tiada lain untuk menguji keberimanan kita, kepasrahan dan ketundukan kita kepada-Nya. Semua yang berasal dari Allah akan kembali jua kepada-Nya.
Edisi Sulam Emas kali ini memuat 4 (empat) puisi dan 1 (satu) cerita pendek kiriman sahabat-sahabat kita dari Madrasah Aliyah KMM Kauman Padangpanjang. Puisi “Badai di Balik Pelangi” (Kharisma Hayati), “Doa Bunga Terakhir” (Mila Marjuita) “Tak Pasti” dan “Rangkaian Kata Tanya” (Lisa Anggraini Nur) serta Cerpen “Secangkir Kopi Abak” yang dikarang oleh Pak Guru JE. Darwisi. Yuk berkenalan dengan karya sahabat-sahabat kita ini. Mari kita bahas satu persatu.
Kita mulai dari cerpen “Secangkir Kopi Abak”. Cerpen ini sarat akan nasehat. Pengarang mengambil filosofi dari minuman kopi sebagai pondasi membangun keseluruhan ceritanya. Banyak pelajaran yang kita peroleh lewat tuturan tokoh Abak. Dialog yang terjadi antara ayah dengan anaknya. Salah satu yang menarik adalah paragraf ini, “Rasa manis hanya muncul di sela-sela rasa pahit. Karena manis yang berlebihan akan membuat kita lebih merasakan pahit. Sama dengan terlalu banyak mengonsumsi gula maka penyakitnya akan sangat berimbas pada kehidupan kita selanjutnya. Bukankah sebuah pelangi akan muncul setelah hujan?”
Bicara soal pelangi kita membaca puisi “Badai di Balik Pelangi” (Kharisma Hayati). Disusun satu bait cukup panjang. Larik-lariknya sudah menghentak sejak huruf pertama. Simaklah larik begini, Seperti itulah bertubi tubinya kehidupan yang kini terinfeksi dihidupku/ Aku tak ingin bagaikan air yang rusak karena diam bertahan.” Dan sebagaimana seharusnya kita sebagai makhluk Allah yang beriman tetap saja kita harus kembali kepada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk hidup adalah bertahan. Simaklah dengan seksama larik-larik terakhir puisi ini. Dengan kujadikan kehidupan akhir bagaikan air yang mengalir jernih,” ujar penyair.



Lihatlah ungkapan “bagaikan air yang mengalir jernih” dalam puisi itu. Menarik sekali mendapati jikalau melalui puisi “Doa Bunga Terakhir” Mila Marjuita menyampaikan pendalaman akan maksud ungkapan “bagaikan air yang mengalir jernih” itu. Ia memulai dengan retorika. Tuhan tahu mana hamba-Nya yang terbaik/Dan kuyakin Tuhan Maha Adil,” katanya. Puisi Mila menggambarkan kepasrahan sebagai makhluk yang lemah. Tidak boleh berputus asa dalam menjalani hidup ini. Allah SWT sangat membenci orang-orang yang putus asa dan sekaligus memuliakan orang yang istiqomah serta konsisten menjalankan hidup. Hidup terhormat di dunia dan hidup mulia di akhirat kelak. “Hujan yang menghiasi pelangiku/Tanganku menampung dengan gumpalan harapan/Serta doa dalam sujud yang kuiringkan/Pintaku.” Bukan materi, sebab materi tidak akan menyelamatkan. Harapanlah yang membuat kita terus hidup. Menariknya ungkapan demikian disebut pula dalam cerpen “Secangkir Kopi Abak” dengan kalimat, “Tujuan kita hidup adalah mencari tahu tujuan itu sendiri.”

Lisa Anggraini menulis dua puisi berjudul “Tak Pasti” dan “Rangkaian Kata Tanya”. Dalam puisi “Tak Pasti” kita baca larik manis begini, Saat setiap insan tak ingin terlibat dalam perbuatan/Saat itu pula keimanan seseorang terkeping menjadi dua belah kata.” Sayangnya tak diperoleh informasi apa gerangan maksud “dua belah kata” tersebut atau kitapun tentu tidak ingin menduga-duga. Puisi ini merupakan sisi gelap dua puisi sebelumnya. Di sini kita disuguhi perasaan putus asa dan ketidakpercayaan diri. Ketika ditarik benang merahnya dengan puisi berikutnya yang berjudul “Rangkaian Kata Tanya” maka terasa sekali bagaimana Kilauan nan senantiasa mendampingi kini kembali berjatuhan.” Lalu “Kini terungkap dan menimbulkan arti sendiri.” Ah… mari kita lanjutkan saja membaca larik berikutnya seperti ini, Akankah bisa perasaan nan jatuh menghapus omongan belaka/Atau terungkapkan oleh suatu makna/Sesekaliku menghembuskan napas panjang/Tanda pasrah nan terlontarkan kian menjadi bukti. Ia menohok, memalukan kehilangan, keputusasaan dan kepasrahan yang menyerah.

Mari kita bangkit dari keterpurukan. Generasi Sulam Emas Indonesia mestilah perekat kejayaan negeri ini. Memekarkan bunga-bunga di taman ibu pertiwi. Menyebarkan kebahagiaan dan ketenteraman di mana saja berada. Kita bersihkan lantai Negara kita ini dari kekotoran perbuatan jahat; angkara murka, KKN, penjajahan, penindasan dan perampasan hak asasi dengan sastra; puisi dan prosa. Kepada Allah kita berdoa dengan doa seluruh sujud. Aamiin!

Salam bahagia, Salam SULAM EMAS INDONESIA!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.