BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
AKU ingat, dahulu ketika masa kecil. Kami mempunyai beberapa
benda yang menurutku aneh dan ganjil namun memantik
rasa keingintahuanku. Satu di antara benda yang banyak itu adalah sebuah kotak
berwarna putih. Kotak dengan sedikit
beraroma pahit dan kering (atau basah?). Bebauan
yang membuatku
merinding dan bergidik. Namun demikian,
karena sebuah ajakan bagi jiwa kanak-kanakku datang mendesak-desak, maka kau
akan melihatku malahan suka sekali menyesap aroma
aneh itu dengan begitu takzimnya.
Aku suka berlama-lama memegangnya. Kuciumi
berulangkali. Aku
suka melakukan itu. Hingga -ini beberapa kali terjadi- papa datang
mengambil kotak itu, lalu ia merebutnya dari tanganku.
“Jangan ciumi juga kotak ini, Nak. Nanti kau bisa
sakit.” Selalu begitu kata papa sambil meletakkan kotak berbau aneh itu ke atas
bofet, pada tempat di mana benda itu memang sebelumnya berada.
“Bukankah sudah sering kukatakan kepadamu tentang hal
itu?”
Mari lupakan tentang kotak putih tadi. Seperti
kukatakan tadi, ada beberapa benda aneh di rumah kami. Kata beberapa tentu
kautahu berarti lebih dari satu. Maka selain kotak berbau aneh, di rumah kami
ada sebuah kain yang panjang. Kain itu juga memiliki bau yang entah mengapa aku
menyukainya juga. Namun kalau kau tanyakan itu bau apa, aku juga tak tahu. Aku
suka, cukup begitu saja. Di atas kain itu ada gambar-gambar aneh lagi. Bergulung-gulung
sepanjang kain. Karena ada beberapa gambar daun, kusimpulkan saja kalau gambar
itu tanaman. Tanaman yang merambat sepanjang permukaan kain yang berwarna
cokelat. Cokelat? Mmh… Papa selalu
membuatkan secangkir susu cokelat panas untukku. Warna kain aneh itu sama
dengan susu cokelat bikinan papa. Apakah sebab itu aku menyukainya?
Bukan. Bukan warna cokelat itu. Bukan pula gambar
sesuatu yang merambat berkelindan di permukaannya. Sekali lagi, aku menyukai
baunya sebagaimana aku menyukai aroma dari kotak putih. Bau itu membuatku
sangat nyaman. Kudekap kain itu ke dada, kuhidu ke hidung, kuselimuti tubuhku
dengannya. Dan ternyata papa tidak merebut kain yang panjang itu dariku. Ia
membiarkanku bersuka ria. Bahkan sering kudapati setiap pagi aku berselimut
dengan kain itu dan aku tahu papa yang menyelimutkannya.
“Mama di mana, Papa?” tanyaku suatu ketika.
Papa kulihat menatapku, diam. Lalu ia menatap
langit-langit rumah kami.
“Mama di surau. Ya, ia tinggal di surau. Untuk bertemu
Mama, kamu harus rajin-rajin sembahyang,” jawab papa kemudian sambil
menggendongku.
Setiap kali aku bertanya, dengan pertanyaan yang sama,
maka papa pun akan menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga pada suatu
ketika yang lain, aku sangat ingin sekali pergi ke surau. Apalagi di samping
surau itu ada sungai kecil. Beberapa temanku sudah sering bermain di sana. Aku
sering diajak, tetapi papa selalu saja melarangku.
“Ke surau hanya untuk sembahyang. Kalau mau mandi di
rumah saja,” begitu papa bersabda.
Ketika surau itu begitu pula dengan sungainya semakin
merasuki kepalaku, maka pada suatu malam aku merasa tiba-tiba saja sudah berada
di tepian sebuah sungai yang besar. Di atas permukaan sungai, terburai dibawa
arus, aku melihat pemandangan yang menakutkan. Seorang perempuan, entah siapa,
kulihat hanyut. Rambutnya panjang dipermainkan arus. Darah dan kain perca
sobekan kain panjang terburai di sela kedua kakinya. Matanya menatapku lekat.
Aku disentak keganjilan hingga mundur ketakutan dan mulai menangis. Mimpi, ya
aku bermimpi. Di atas ranjang, aku tersedu, menggigil dan takut. Di mana papa?
Di luar hujan sedang turun dengan sangat derasnya. Petir bagaikan menusuk
telingaku. Aku ketakutan. Sangat takut sekali.
Saat itu aku turun dari ranjang lalu membuka pintu
kamar. Sepi, sepi sekali. Entah ke mana semua orang. Aku ke luar kamar. Berlari
ke luar rumah. Hujan deras dan petir menciutkan nyali. Kupungut sebuah batu di
halaman. Dalam hingar bingar derai hujan aku mendatangi rumah tetangga. Kalaulah
hari siang biasanya aku suka bermain-main di rumah tetangga itu. Maka, ketika
malam itu aku merasa ketakutan, apalagi sampai habis airmataku aku belum
menemukan sosok papa, maka ke rumah itulah satu-satunya tempat dalam pikiranku
untuk mendapatkan perlindungan. Sebuah batu kugunakan mengetuk pintu. Kuketuk
pintu itu sekeras yang aku bisa. Seingatku aku menangis meraung-raung ketika
itu. Airmata sudah bercampur dengan air hujan yang tempias membasahi wajahku.
Apakah aku pucat? Entah juga. Aku takut, aku gemetaran.
Pagi harinya, papa datang menjemputku. Papa dan
tetangga kulihat serius berbincang, entah apa. Aku tidak peduli. Pikiranku
hanya ingin pulang untuk meneruskan tidurku kembali. Kata papa, badanku sedikit
panas. Tetapi aku hanya ingat kain panjang cokelat bergambar tumbuhan merambat
itu.
Pada suatu malam yang lain sepertinya aku bermimpi lagi. Kini aku di tepi sungai
lagi, sungai yang besar.
Sungai yang luas dan panjang sekali. Airnya
biru dengan bunga berdaun lebar dan berbunga
ungu tumbuh rampak di sepanjang tepiannya.
Riuh kicau sekawanan burung
yang tak kuketahui namanya terdengar.
Kawanan itu terbang rendah lalu menukik dengan gerakan memukau sebelum kemudian mencium
permukaan sungai.
Awan di atasku terlihat agak sedikit aneh. Awan itu bukan
seperti awan yang biasa kulihat di langit setiap hari.
Pepohonan terasa mengirimkan bisik yang berdesir, bunyinya amat merdu terdengar di telingaku. Itu bukanlah desir angin. Itu lebih mirip kepada suara nyanyian. Ah…!
Sebuah rumah kecil berhias dedaunan,
bunga aneka warna
dan taburan benda berkilauan meluncur
pelan dari tengah sungai. Rumah itu, entah dengan cara bagaimana kulihat
melesat anggun membelah riak
sungai dan menuju ke arahku. Di atasnya, sesosok perempuan berdiri tegak. Pakaiannya indah. Berkilauan tetapi menyejukkan pandangan. Belum pernah kulihat
pakaian sebagaimana demikian. Indah sekali! Aku melihat rambutnya yang hitam dan panjang. Kepalanya ditutupi sesuatu yang menurutku sangat
megah, oh, aku kagum!
Mimpi itu (kalau memang disebut mimpi) kemudian berlalu
begitu saja. Berhari-hari silih berganti, aku masih suka menciumi kotak putih
atau kain panjang cokelat susu yang ada gambar tumbuhan merambatnya itu juga. Aku
masih sering berlagak ingin ke surau untuk mencari mama walau kemudian aku
lebih sering ke sungainya daripada ke suraunya. Lambat laun aku jarang bertanya
soal mama kepada papa. Sampai suatu hari, papa membawa seseorang ke dalam
rumah.
Kata papa, ia akan menjadi pengganti mama. Aku hanya
terdiam. Pikiran kecilku tentu saja belum mencerna maksud papa itu. Urusan
orang dewasa kadang memang menyebalkan! Pengganti mama? Apakah maksudnya?
“Apakah ia datang dari surau?”
“Tidak. Ia dari kampung dekat kampung kita,” jawab
Papa. Tetapi ia sepertinya menyadari sesuatu. “Maksud Papa, ia datang dari surau
tapi surau di kampung sana,” imbuh papa lagi.
Rambutnya sedikit ikal dengan raut wajah teduh dan
menenangkan. Tatapan matanya langsung menancap ke dalam batinku. Aku menyadari
jika aku menyukai perempuan ini. Kautahu bukan, aku sama sekali belum pernah
tahu bagaimana seorang mama itu. Apakah ia seperti halnya bagaimana papa
kepadaku? Entahlah. Aku memang mengerti, kalau setelah papa tentu ada mama. Dan
seorang mama yang aku ketahui hanyalah sebuah potret kekuningan, seorang
perempuan putih, muda dan sedikit berpostur pendek berbadan sedikit gemuk
mendekap seorang anak (itu adalah aku) yang sedang memegang sepotong jagung rebus.
Hanya itu. Papa yang mengatakan kalau perempuan dalam potret tersebut harus
kupanggil dengan mama. Mama, kata papa selama ini selalu pergi ke surau makanya
aku tidak pernah berjumpa dengannya. Setelah itu, seperti kautahu, Papa kini
memperkenal seseorang sebagai, pengganti mama. Datang dari surau, tetapi surau
kampung sebelah.
Di sebuah pagi ketika aku terbangun dari tidur, pada
hari kesekian yang tidak pernah bisa kuingat hari apa, embusan napas pelan dan
hangat menyentuh ubun-ubunku. Aku terbangun dalam pelukan seseorang. Oh, aku
dipeluknya. Tetapi papa ke mana? Biasanya ia yang memelukku seperti ini. Sambil
mencoba melepaskan diri dari dekapannya yang hangat, kukumpulkan kesadaranku. Kulihat
wajahnya. Wajah yang berbedak tetapi nampak memudar di sana sini. Perempuan
pengganti mama? Kenapa ia memelukku? Aku mengedarkan pandangan mencari papa.
Namun papa tidak ada. Aku butuh papa.
Dan begitulah yang terjadi kemudian. Maksudku, kau
tentu sudah dapat menerka jika setelah hari itu, sebuah hal aneh kemudian hadir
di rumah kami. Di antara aku dan papa. Asalnya dari seseorang pengganti mama
itu. Suatu hari, pengganti mama itu berkata kepadaku, “Panggil aku Umak ya,
Sayang.” Seingatku aku tidak bisa menjawab. Ia harusnya tahu aku masih kecil.
Manalah mungkin aku memanggilnya dengan, apa itu tadi, Umak?
***
***
Pada sebuah siang yang bahagia jauh dari masa
lampauku, ketika itu aku sedang bersama anak-anakku di sebuah taman bermain.
Kami bergembira dan bersenang-senang. Telepon genggamku berbunyi. Telepon itu
kuangkat dan suara adikku di seberang terdengar menangis tersedu. Di sela
tangis dan suara terputus-putus ia mengabarkan kepulangan umak ke dalam
keabadian. Dunia ini kurasakan berputar-putar. Tulang belulang seperti dilolosi
dari tubuhku. Airmataku mengalir deras, tanpa dicampuri air hujan.[]
Padang, Maret 2015 – Januari 2017
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.