Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Merayakan Kata-Kata, Menulis Puisi



Oleh: Denni Meilizon
 
Foto dok. Pribadi. Kepulauan Mentawai
Apa fungsi Puisi? Untuk apa puisi ditulis atau buat apa menulis puisi? 

Puisi merupakan bentuk kesusasteraan paling purba. Induk sastra. Sejak keberadaan manusia sebagai makhluk berakal di atas dunia ini, cikal bakal puisi pun ikut hadir. Puisi, bukan hanya sekadar ungkapan bahasa saja. Ia juga adalah bebunyian dari alam. Suara guntur, desah hujan, desan angin atau debur ombak. Dentum kosmik, gerak bintang-bintang. degup jantung, bahkan keriuhan penciptaan dalam rahim.    
Tercatat, Puisi yang tertua adalah Epos Gilgamesh, dari milenium ke-3 SM di Sumeria (di Mesopotamia, sekarang Irak), yang ditulis dalam naskah tulisan kuno berbentuk baji pada tablet tanah liat dan kemudian, papirus. Puisi dan syair-syair mitologi lainnya seperti  epos Iliad dan Odyssey karya Homerus, Old Iran buku-buku yang Gathic dan Yasna Avesta, epik nasional Romawi, Virgil Aeneid, dan India epos Ramayana dan Mahabharata, juga kitab-kitab kebijaksanaan Tao dan Konfusius, atau tradisi sastra lokal seperti pantun, gurindam, seloka, dan seterusnya semuanya disajikan dalam syair-syair yang indah. 
    
Ketika bahasa dibutuhkan sebagai bagian dari ekspresi, cara memberitahu keberadaan, maka mulailah penutur awal dalam sejarah peradaban manusia membentuk bunyi yang mereka dengar ke dalam peniruan suara. Mereka cari itu bentuk bunyi, lalu diterjemahkan ke dalam tekanan pita suara di dalam mulut. Maka, kita memperoleh asal mantera-mantera. PUISI PADA AWALNYA BERMULA DARI MANTERA.    
Namun Puisi dan mantera tidak dalam posisi disamakan. Tetapi, Mantera merupakan salah satu bentuk dari puisi. coba ketik di google.com aja deh. Banyak kok contohnya di internet. Khasnya, puisi berbentuk mantera itu memiliki artikulasi sulit dipahami. Kata-katanya bukan kata biasa. Tekanan pembacaannya dibuat dengan cara tertentu.        
Puisi lalu menjadi bagian kehidupan. Ia menjadi obat. Sugesti. Penentu kekuasaan. Keberlangsungan kehidupan. Di dalam upacara-upacara ritual puisi berbentuk matera itu hidup. Mungkin masih bisa dinikmati bentuk puisi awal itu di Papua, misalnya. Toh, beberapa upacara adat di Indonesia sampai hari ini tetap memelihara mantera sebagai penegas kesakralan. Begitulah. Singkatnya, kata-kata dirayakan melalui puisi. Ibarat menanam, maka puisi itulah lahan luas untuk menanam benih dan bibit kata-kata. Dari puisi bermunculan kata, istilah, diksi atau jargon yang kemudian dipakai secara umum. menjadi kebakuan dalam bahasa. menjadi kebiasaan dalam komunikasi. FUNGSI PUISI MEMANG MEMBENTUK KATA DAN UNGKAPAN BARU.                       
Yang ingin terus menjadi Penyair, perkaya pengetahuan tentang puisi. Baca buku yang banyak. Jangan berdiam diri, tetapi menjelajah ya. Di luar sana, ide untuk bahan puisimu bertebaran untuk kau pungut dan tuliskan. Rekam semua kegelisahan. Ungkapkan semua yang kaurasa.  Sesuai dengan zamannya. Zaman berubah terus. Begitu pula bahasa. Dan tugas penyair adalah bagaimana menimbulkan efek "magis" dari kata itu ketika di dalam puisi. Ada bunyi, ada majas dan ada diksi. Ketiga hal itu akan memberi efek "magis" jika bisa dipakai dengan benar ke dalam puisi yang kita tulis.

Namun demikian, tidak ada yang mengharuskan kita menulis puisi dengan indah. Penuh bunga-bunga dan semacamnya. Menulis puisi ialah pekerjaan mengempang kata, demikian kata penyair Rusli Marzuki Saria. Kata-kata akan datang menyerbu penyair. Seni menulis puisi terletak kepada kejelian kita memilah kata dan merautnya menjadi larik dengan diksi ataupun ungkapan mengandung metafora. Bahasa puisi yang disebut kawan kita di atas itu adalah MAJAS dan DIKSI. Sekarang ini calon penyair asyik mencipta diksi yang ENTAH APA padahal dalam puisi itu MAJAS dan BUNYI adalah yang terpenting. Karena menomor satukan DIKSI maka jadinya malah ungkapan-ungkapan aneh yang membutuhkan (mungkin) waktu 50 tahun lagi baru dipahami orang.
Untuk membentuk puisi,  diperlukan upaya keras dalam melatih diri guna memberi efek bunyi pada puisi dengan mengumpulkan ragam kosakata lalu, dicoba padupadankan. Selain Bahasa Indonesia, kita juga boleh merujuk kepada bahasa lokal. Misalnya, karena tinggal di Sumatera Barat, yang berbahasa Minang, bahasa yang dekat dengan bahasa Indonesia maka boleh menggali ungkapan maupan kosakata bahasa Minang yang sesuai. Harus ada proses memang. Lakukan percobaan terhadap pengungkapan bahasa ke dalam puisi. Tidak usah buru-buru. Endapkan dulu. Baca berulang-ulang. Jangan ragu untuk menghapus, mencoret atau membuang kata yang tidak perlu.
Nah, cara menulis puisi yang paling sederhana itu ternyata mudah sekali. Namun, kita harus jalan-jalan dan tidak hanya bersunyi-sunyi dan merenung sendiri di kamar. Dengar gaya bicara orang-orang sehari. Catat. Simpan. Gunakan itu dalam puisi kita. Orang akan suka membaca yang tertulis dan berasal dari ungkapan umum. Hal yang dekat dengan pembacanya.
Sebelum kita mau menulis puisi, hal utama yang harus kita pahami adalah konotasi dan denotasi Konotasi adalah kalimat yang memiliki makna eksplisit atau makna yang bukan sebenarnya atau kata kiasan saja ,sedangkan denotasi adalah kalimat yang merujuk pada makna sebenarnya ,nah ini yang harus diperhatikan dalam menulis puisi,agar ada ketertarikan dalam penafsiran sebuah puisi itu, kalau misalnya puisi dengan kalimat denotasi saja, maka sudah tentu puisi itu tidak terlalu berkesan pada pembacanya.
Puisi itu harus sesuai dengan kondisi riil. Jangan klise. Dibikin-bikin. Merangkai kata tentu butuh kata. Sama seperti merangkai bunga, tentu butuh bunga yang banyak, yang cantik. Yang harum mewangi. Jadi, mau tidak mau kembali lagi, harus banyak membaca, harus banyak berkomunikasi dengan manusia, harus mendengarkan, harus mampu mempergunakan panca indera.
Yang paling penting, harus konsisten, berkelanjutan dan tahan banting dalam berproses.

Salam Puisi!


*Artikel ini merupakan materi yang penulis sampaikan dalam Workshop Menulis Puisi FAM Kota Sorong secara Online.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.