Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Kebencian dan Dendam Tidaklah Memenangkan Siapapun




Oleh: Denni Meilizon


 
Sumber ilustrasi: http://solusik.com

SULAM EMAS edisi kali ini memuat beberapa puisi karya remaja putri dari berbagai daerah se Indonesia. Naskah-naskah puisi tersebut dipilih dari naskah yang masuk ke meja redaksi, setelah dilakukan proses kurator didapati bahwa beberapa puisi layak masuk ke dalam halaman GABA-GABA sebagai sastra serius atau dimuat terlebih dahulu di halaman SULAM EMAS sebagai wadah belajar dan pemotivasi diri untuk semakin giat dan aktif berkarya.

Untuk merayakan pemuatan karya khususnya di halaman SULAM EMAS ini, kita berikan apresiasi kepada sahabat-sahabat kita; Nadia, Mutia, Mia, Elfi, Syifa dan Imelia untuk puisi-puisi mereka yang bagus dan enak dibaca. Apresiasi juga kita berikan kepada  NURUL JANNAH untuk cerita pendeknya. Semua itu tiada lain adalah untuk membuat kita tetap optimis dan bahagia utamanya pada akhir pekan ini.

Dan inilah dia puisi “Surat untuk Sahabat” karya Nadia Caesarea. Ia bicara soal hubungan persahabatan. Membangun hubungan persahabatan dikala usia remaja memang mengasyikkan. Kita bisa melakukan kegiatan bareng. Melakukan sesuatu yang kita senangi. Mencari jati diri. Kadang sesekali ada pertengkaran dan disaat yang lain akrab tak terpisahkan. Larik-larik begini mengantarkan suasana melankolis kepada kita,  Aku akan rela/Jika suatu saat memang aku yang bersalah. Jelas puisi ini mengungkap sebuah sisi lain persahabatan yaitu konflik. Dan apa yang dibutuhkan ketika kegentingan hubungan menimpa jalinan persahabatan itu? Simak penggalan puisi berikut, Tapi satu hal yang harus kamu tahu/Aku menyayangimu/Kemarin, sekarang dan seterusnya/Aku bahagia bisa kenal denganmu/Bahkan bisa jadi sahabatmu. Sahabat hari ini mudah-mudahan sahabat juga untuk esok nanti. Semoga.

Jika Sri Mutia mengajak kita bermain “Ombak Rindu” lewat puisi maka Mia Karneza memberitahukan kepada kita jikalau di dalam Cerita yang Telah Usai ada Namamu, sudah tidak tertulis lembaran kertas/Tapi, tetap terkenang di dalam hatiku/Sebab cerita kita hanya sebagai kenangan/dan tidak perlu dipublikaskan. Ombak Rindu tentu ada gelombang dan batu karangnya. Laut dan pantai, Menatap sepasang sayap yang terbang// Aku di sini masih berharap dengan rindu. Apa yang dirindukan oleh sosok remaja yang beranjak dewasa selain kebahagiaan, kenyamanan, keamanan dan kebebasan ruang untuk mengekplorasi bakat dan kemampuan diri sendiri?

Selalu saja kita semua butuh tindakan berupa kesabaran.  Berikan Aku Kesabaran,” ujar Elfi Wahyu Lianti. Maka kita diajaknya melantunkan doa-doa. Tuhan.../Berikan hamba kesabaran/Agar hamba tegar menghadapi cobaan. Hidup ini adalah ladang percobaan. Amanat, beban dan tanggungjawab saling ikat mengurung dan berkelindan. Manusia tidaklah sebebas yan ia kira. Apabila hidup sudah terasa semakin berat maka kepada Tuhan, Daku sujud dan berdoa/Untuk menenangkan diri di hari yang semu/Agar hamba memperoleh ridho-Mu. Remaja Indonesia tentu tidak boleh putus asa. Ada harapan dan masa depan yan dijanjikan bagi mereka yang mau belajar dan bekerja keras.

Membaca puisi semacam “Sekotak Maaf” karya Hasiyah As-Syifa maupun juga “Terbuang Sia” karya Imelia Sabrina bagaikan membaca dua buah konflik abadi dalam kehidupan manusia. Puisi Syifa menunjukkan betapa kita harus mampu memberi maaf bahkan terutama kepada Ibu sendiri. Sedangkan gambaran utuh dalam puisi “Terbuang Sia” dapat dibaca dalam bait berikut: Kebencian menghampiri setiap celah goresan/Gumpalan batu tak mampu lagi menopang/Atap pelindung menangis dengan api kehidupan/Kayu lenyap dimakan pemakan yang rakus/Lantai hanya bisa terdiam menyaksikan kenyataan/Hijau lumut hadir menyusuri ruangan hampa/Mata hanya mampu menatap sayu/Bibir tak mampu mengeluarkan permata kata/Pekikan hanya terdengar dalam hati. Apa yang ditawarkan kebencian kepada kita? Sejatinya tidaklah ada. Kita akan kecil dan terkucil. Alih-alih bakal bahagia, benci dan dendam bakal membakar cahaya kesucian diri kita. Jika diri menjadi laksana api, siapa pula gerangan yang bakal mau mendekat? Naudzubillahi minasyaitonirrajiim…!

Salam bahagia, salam SULAM EMAS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.