Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Hal Ihwal Kopi dan Pentingnya Seni Menikmati Pekerjaan





Oleh: Denni Meilizon

 
ilustrasi dari pulangkerja.com

Elfi Wahyu Lianti mengirimkan puisi-puisi bagus ke meja redaksi. Siswa MAN Gunung Padangpanjang ini menyajikan puisi rasa kopi kepada kita semua. Lihatlah ia bagaimana bisa membentuk larik yang imajinatif dalam puisi “Sajak-Sajak Kopi” berikut ini: Kaulah kopiku/Berpadu dengan pasir putih bersih/Diseduh dengan air panas.  Lalu ia membawa kita ke kedalaman filosofi dengan ungkapan begini, Oh kopiku sang hitam pekatku/Betapa enaknya dirimu/Sehingga lisan tak mampu menguraikan bahasa/Hanya sajak-sajak yang mampu kutuangkan/Menuangkan cita rasamu.


Kalau ingin mengenal kopi, ada baiknya pula kita hayati puisi berjudul “Kopi”. Lihatlah Elfi dengan bahagianya menulis batang tubuh kopi untuk kita. Katanya, Warnamu yang hitam dan rasamu yang pahit. Kopi hitam dan tentu saja pahit. Walau ia hitam dan pahit, tetap saja dap roses untuk menjadikan dia kopi yang bermutu. Membutuhkan waktu yang lama untuk menjadikanmu seperti itu. Frasa “seperti itu” bagi penikmat kopi akan memunculkan beragam tafsiran soal rasa, sense. Rasa tergantung lidah dan hati seseorang. Menikmati kopi umumnya dijadikan metafora kehidupan sebagaimana diungkapkan Elfi berikut ini: Begitulah kehidupan ini/Begitu pahit dan membutuhkan waktu untuk mencapai sebuah kesuksesan. Nikmatilah kopi. Hidupkan perasaan yang telah mati. Yang diterpa gundahnya hidup. Konon, para pelaku Sufi juga penikmat kopi. Mungkin saja kopi dijadikan sebagai penangkal kantuk ketika melakukan ritual atau ibadah.

Puisi ketiga berjudul “Seduh Kopi” bercerita tentang sipembuat kopi, seorang Barista. Hhm.. Ini sebetulnya profesi yang unik sebab membutuhkan keahlian yang spesifik. Dengan berbunga-bunga, Elfi mengungkapkan, Kuambil gelas kaca berukuran sedang/Kuambil dua sendok gula pasir putih ke dalamnya/Kuambil lagi satu sendok saja kopi hitam pekat, dst. Lihatlah, ia berusaha member gambaran bagaimana seorang pembuat kopi bekerja. Bagaimana seseorang memang seharusnya dapat menikmati pekerjaannya. Seni dalam menikmati pekerjaan, begitu mungkin yang ingin disampaikan Elfi kepada kita. Siap sudah kopi pekatku dengan sejuta aroma yang menggugah/Ditemani senja yang menyapa. Setelah semua pekerjaan selesai dan tuntas maka kita menunggu hasil. Tetapi melalui tahapan demi tahapan serta proses demi proses dalam hidup ini, wabilkhusus di bidang pekerjaan yang kita geluti sesungguhnya itu sebuah kepuasaan yang mahal. Pantas saja, Puisi ini kemudian ditutup warna senja yang temaram, mengecilkan volume ritme kehidupan. Memasuki alam istirahat, mungkin menekur, merenung atau mengevaluasi. Yang jelas tentu saja menyiapkan diri untuk tantangan kehidupan esok hari.

Salam bahagia, Salam Sulam Emas!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.